Battlefield of the Mind: Manis-Pahit Dokter Gigi

"You can suffer the pain of change or suffer remaining the way you are" - Joyce Meyer

Nope, gw sekarang lagi tidak akan membahas tentang Joyce Meyer dan atau bukunya. Gw juga bukan membahas tentang perubahan, meskipun agak nyerempet sedikit. Jadi gw mau cerita tentang, tentang apa yaaa. Jadi quote diatas menggambarkan kondisi gw saat ini yang lagi sakit gigi dan gusi gara-gara si gigi bungsu yang entah sedang dalam proses tumbuh atau sedang impaksi entahlah. Yang jelas kalau lagi kumat ampun deh.

Kalau lagi sakit seperti yang sekarang gw alami, duh gw sudah semacam perempuan anggun. Bayangkan kalau biasanya tertawa terbahak-bahak sekarang jadi meringis. Kalau biasanya makan seperti kecepatan cahaya, sekarang sejam pun tak selesai. Bahkan sekarang gw makan donat segala pakai garpu, padahal biasanya tinggal lep. Biasanya gw makan kayak black hole, sekarang, hmm nggak berubah sih, kemarin masih tetap makan indomie goreng 2 bungkus plus chicken nugget 4 biji plus telur dadar. Cuma jadi sok manja saja dan banyak mau saja sih. Misalnya jadi pengen makan yang lembut-lembut seperti bubur kwangtung, tapi sayangnya mahal, jadi makan bubur KFC juga cukup. Terus jadi maunya perut diisi sama yang cair-cair seperti capuccino, walaupun sekarang gw sudah pesan pesan capuccino tapi mendapati bahwa ini lebih cocok disebut cafe latte.

Anyway, kembali mengenai si gigi bungsu. Ini kasus gusi dan gigi sakit sebenarnya sudah terulang, paling tidak setahun 1-3 kali, sejak hmm, lupa. Dan kalau gw merasa sakit kemudian gw selalu merasa butuh untuk periksa ke dokter gigi untuk dicek apakah si wisdom ini perlu dicabut. Dan gw tahu aturan bahwa gigi tidak bisa dicabut kalau dalam kondisi bengkak atau sakit. Jadi gw selalu menunggu nanti saat sakitnya reda. Tapi setelahnya, lupa dan malash! Plus, gw juga takut sih kalau harus cabut gigi bungsu apalagi kalau harus lewat jalur bedah yang konon mengerikan. Jeng jeng jeng jeng.

Sebenarnya gw tidak takut sama dokter gigi. Pengalaman ke dokter gigi juga selalu menyenangkan, karena memang belum pernah ada masalah yang berarti. Bahkan pernah ketemu sama dokter yang kece, sebut saja Dokter Chandra (hai Dok, masih ingat aku?).  Dan pengalaman sama Dokter Chandra membuat gw jadi tidak takut untuk melakukan tindakan ke dokter gigi.

Sedikit mengenang masa-masa indah pengobatan bersama Dokter Chandra. Jadi waktu itu gw setiap minum panas atau yang dingi-dingin pasti gigi geraham kiri atas selalu ngilu. Bahkan kadang suka ngilu saja setelah makan, tanpa sebab. Gw berpikir ini mungkin ada yang bolong, meski tidak ada tanda-tanda kebolongan. Gw berpikir mungkin ini lubangnya masih mikro, jadi kasat mata dan lidah. Gw berpikir karena lubangnya masih belum parah jadi kalau ditambal pun tak pakai ribet dan sakit. Dan sekalian mau scaling alias bersihin karang gigi. Jadilah gw pergi ke sebuah klinik dan dilayani oleh Dokter Chandra. Pas diperiksa si dokter bilang, tak ada yang bolong di gigi gw. Kemudian, diperiksa tuh pakai selang yang nyalurin semacam angin buat ngecek mana yang sakit. Intinya gigi gw divonis sensitif. Kemudian gw pun lanjut ke proses scaling. Orang kadang suka takut ke dokter gigi karena mengira itu sakit hanya dari dengar bunyi alatnya bikin jiper. Sama seperti bunyi alat scaling yang kayak bor, adahal tidak sakit sama sekali loh. Saat proses, rada baper sih, Dokter Chandra bilang "coba tengok ke arah saya", dan saat pengerjaan tentu dia sangat fokus ya. Jadi saat saya tengok ke Dokter dan melihat sorot matanya yang serius, duh aku tak kuat. Meskipun saat periksa gigi yang sakit dia udah terlihat hmm, tapi ini berbeda. Dunia ini rasanya jadi serba putih, well ruangannya memang putih dan dokternya pun berjas putih, semuanya jadi sunyi dan alat scaling jadi tak bersuara. Kemudian sayup-sayup terndengar zhi pa wo zi ji huai ai shang ni (ost meteor garden). Delusi sih itu gw. Sayangnya, Dokter Chandra tiba-tiba bilang "ya sudah selesai". Gw merasa waktu cepat sekali berlalu. Kemudian Dokter Chandra melanjutkan "ini bagus giginya bersih, makanya cepat" Ohh ternyata memang proset cepat toh, kirain. Kemudian untuk gigi yang bermasalah itu gw cuma suruh ganti ke sikat dan pasta gigi untuk gigi sensitif dan kontrol beberapa minggu kemudian (lupa, berapa minggu) untuk dicek lagi apakah masih masalah atau tidak dan perlu tindakan lanjut atau tidak .

Beberapa saat kemudian, gw pun kontrol ke Dokter Chandra. Saat itu gw merasa gigi sudah sehat tak sakit lagi, jagonya Dokter Chandra. Pas diperiksa Dokter Chandra bilang "gigi kamu sudah tidak ada masalah nih, jadi tidak perlu ada tindakan ya.". Sudah gitu doang, padahal gw berharap gigi gw ini akan ada tindak lanjutnya. Terus gw bilang "Serius Dok? Tapi kok kalau habis makan suka ngilu sih? Ini beneran?". Masih usaha. Dokter Chandra menjawab, "Itu nggak papa kok, paling overload  karena kamu ngunyahnya di sebelah kiri doang kan? Sekarang diseimbangin ya ngunyahnya". Gw merasa ditolak (?). Tadinya gw masih mau cecar tentang gigi bungsu gw yang padahal tak ada masalah, tapi sudahlah. Dokter Chandra pun mengakhiri pertemuan ini dengan bilang "Terus dirawat ya giginya, sayang kalau sampai bolong." Hikkkksss

Anyway, itu adalah proses yang membuat gw berani untuk periksai gigi bungsu ini beserta tindakannya. Padahal sebelumnya, teman gw yang sudah pernah operasi gigi bungsu cerita, yang intinya "Kalau gw tahu proses ini (operasi gigi bungsu) perlu dilakuin, gw mending nggak usah pakai behel deh. Gila menyiksa banget". Tuh serem kan. Tapi yang sebenarnya bikin gw semakin ciut untuk tindakan si gigi bungsu adalah gara-gara kakak gw! Dia itu kan dokter gigi juga ya. Tentu saja bilang yang namanya tindakan itu tidak sakit, pokoknya mulut manis lah ke pasien. Tapi tentu saja dia bohong. Karenaaaa.......

Si Kakak ini kan dokter gigi Pemda di suatu Puskesmas dan kebetulan menempati rumah dinas yang masih satu  pagar sama Puskesmasnya. Nah, kebetulan si Puskesmas ini sedang direnovasi jadi banyak perlengkapan bangunan dan pertukangan di sana. Kebetulan pula si kakak ini sedang sial karena saat jalan kakinya tertusuk besi material untuk bangunan. Besinya ini sampai tembus sandal dan kena telapak kaki lumayan dalam. Bahasa lainnya kakinya "bolong". Istri kakak gw ini kan dokter umum dan juga dokter di Puskesmas yang sama, dia memilih untuk dirawat oleh sang istri ketimbang ke rumah sakit. Sebenarnya dari awal sang istri sudah memaksa untuk pengobatan di RS karena tahu lukanya cukup parah. Namun kakak saya tetap menolak. Sayangnya karena luka cukup dalam maka sempat terjadi infeksi, dan harus dibawa ke RS untuk pengobatan lebih lanjut.  Alhasil, kakak saya pun dibawa ke RS. Namun apa yang terjadi? Saat di RS dan sudah mau masuk ke ruang UGD, kakak saya...........KABUR! Iya kabur. Alasan kakak gw adalah "Takut. Kan sakit tauk!". Sudah gila kalik ya ini kakak gw. Dia pikir saat dia ngopek-ngopek mulut orang antara lain ngebelek-belek gusi, cabut gigi, suntik bius, jahit gusi, dikiranya nggak sakit kalik ya. Dan saat kami sang adik-adik bilang ini ke kakak, dia cuma meringis dan bilang "iya memang sakit kok hehehehe".

Gara-gara tragedi kakak gw ini, gw jadi makin jiper untuk periksain si gigi bungsu karena takut dengan tindakan selanjutnya yakni o-pe-ra-si. Menurut lo, kebayang kan, kakak gw saja yang sudah biasa eksekusi tindakan pegobatan yang menyiksa saja bisa takut sama yang namanya "tindakan" apalagi para hamba sahaya yang hanya bisa pasrah dengan mulut manis suster-dokter "nggak sakit kok". Tapi sepertinya kalau dokternya sekece Dokter Chandra (hai Dok!) yang bisa mengalihkan duniaku saat proses pembedahan mungkin gw bersedia.

Kembali ke quote dari Joyce Meyer di atas. Jadi apakah gw perlu change dengan memberanikan diri menjalani tindakan untuk si wisdom dan merasakan pain yang konon luar biasa sakit bukan main sakit minta ampun. Ataukah gw remain dengan pain yang sedikit-sedikit tapi kurun waktu yang lama? Jadi bagaimana nih Dokter Chandra, change or remain?

Comments

Popular posts from this blog

Orang Indonesia Tukang Lempar Tanggung Jawab (?)

Lihat Benda Langit di Planetarium Jakarta

Seri Perang Melawan Jerawat: Mengapa wajahku begini