Sepakbola Indonesia : Biaya Tinggi Prestasi Mini (?)
Pesimis. Itulah kata yang menggambarkan opini saya terhadap persepakbolaan Indonesia. Bukannya tidak cinta dengan negeri ini, atau tidak bangga dengan gocekan Bepe dan kawan kawan. Saya ini bahkan pendukung setia timnas garuda. Namun, kalau melihat kondisi yang sekarang terjadi sepertinya saya benar-benar pesimis.
Bagaimana tidak, kapan sih terkahir Indonesia berjaya di ajang internasional paling tidak di kawasan Regional ASEAN? Bahkan untuk pertandingan final di kandang sendiri, timnas belum cukup kuat untuk mengangkat trophy di hadapan para pendukungnya. Belum lagi untuk keorganisasiannya. Untuk masalah Liga resmi saja penyelesaiannya begitu lama. Lebih dari setahun! Maklum, ada bumbu politiknya. Saya baru mendengar dari berita tadi pagi (08/06/12) bahwa PSSI kini telah berdamai dengan KPSI. Namun, saya tidak begitu yakin perdamaian ini benar-benar menunjukkan telah runtuhnya egoisme para pemangku kepentingan yang mengambil keuntungan di pintu X-XI komplek Stadion Utama Gelora Bung Karno. Entah apakah dengan perdamaian ini permasalahan Liga resmi akan selesai, dan para punggawa-punggawa timnas dari LSI akan dapat kembali unjuk gigi dengan lambang garuda.
Sebenarnya, yang menggelitik saya untuk menulis adalah tragedi ketika pertandingan Persija melawan Persib, yang sampai timbul korban jiwa. Disitulah biaya yang sebenarnya (menurut saya) paling besar. Mungkin sebagian akan berpikir biaya disini adalah materi. Tapi bayangkan, ini nyawa manusia! Ada 3! Kedengarannya sedikit, tapi coba dibaringkan tiga-tiganya. Akan terlihat bagaimana besarnya biaya untuk sebuah olahraga dengan prestasi mini. Tragedi seperti ini pun terjadi tidak hanya kali ini terjadi. Belum lagi kerugian akibat anarkisme ketika pertandingan, ataupun sebelum dan setelah pertandingan. Hmm, ironis memang.
Kalau dipikir-pikir, padahal ketika para supporter beda klub ini sedang memakai atribut garuda, sepertinya mereka tidak mempermasalahkan latar belakang klub yang mereka idolakan.
Seandainya dalam sepakbola atribut klub bisa tidak nampak. Seandainya yang ada di pikiran para pendukung sepakbola yang ada hanya lambang garuda. Seandainya para pecinta sepakbola di bawah nama jakmania, viking, aremania, the macz man, beladas, persiwa mania dan masih banyak lagi (yang tidak bisa saya sebut satu persatu) dapat menyadari bahwa mereka itu sebenarnya satu. satu pecinta sepakbola satu dalam nama Indonesia. Maka tidak ada korban-pelaku sesama pecinta sepakbola. Dan walaupun prestasi mini, tapi ada rasa bangga dalam diri.
Bagaimana tidak, kapan sih terkahir Indonesia berjaya di ajang internasional paling tidak di kawasan Regional ASEAN? Bahkan untuk pertandingan final di kandang sendiri, timnas belum cukup kuat untuk mengangkat trophy di hadapan para pendukungnya. Belum lagi untuk keorganisasiannya. Untuk masalah Liga resmi saja penyelesaiannya begitu lama. Lebih dari setahun! Maklum, ada bumbu politiknya. Saya baru mendengar dari berita tadi pagi (08/06/12) bahwa PSSI kini telah berdamai dengan KPSI. Namun, saya tidak begitu yakin perdamaian ini benar-benar menunjukkan telah runtuhnya egoisme para pemangku kepentingan yang mengambil keuntungan di pintu X-XI komplek Stadion Utama Gelora Bung Karno. Entah apakah dengan perdamaian ini permasalahan Liga resmi akan selesai, dan para punggawa-punggawa timnas dari LSI akan dapat kembali unjuk gigi dengan lambang garuda.
Sebenarnya, yang menggelitik saya untuk menulis adalah tragedi ketika pertandingan Persija melawan Persib, yang sampai timbul korban jiwa. Disitulah biaya yang sebenarnya (menurut saya) paling besar. Mungkin sebagian akan berpikir biaya disini adalah materi. Tapi bayangkan, ini nyawa manusia! Ada 3! Kedengarannya sedikit, tapi coba dibaringkan tiga-tiganya. Akan terlihat bagaimana besarnya biaya untuk sebuah olahraga dengan prestasi mini. Tragedi seperti ini pun terjadi tidak hanya kali ini terjadi. Belum lagi kerugian akibat anarkisme ketika pertandingan, ataupun sebelum dan setelah pertandingan. Hmm, ironis memang.
Kalau dipikir-pikir, padahal ketika para supporter beda klub ini sedang memakai atribut garuda, sepertinya mereka tidak mempermasalahkan latar belakang klub yang mereka idolakan.
Seandainya dalam sepakbola atribut klub bisa tidak nampak. Seandainya yang ada di pikiran para pendukung sepakbola yang ada hanya lambang garuda. Seandainya para pecinta sepakbola di bawah nama jakmania, viking, aremania, the macz man, beladas, persiwa mania dan masih banyak lagi (yang tidak bisa saya sebut satu persatu) dapat menyadari bahwa mereka itu sebenarnya satu. satu pecinta sepakbola satu dalam nama Indonesia. Maka tidak ada korban-pelaku sesama pecinta sepakbola. Dan walaupun prestasi mini, tapi ada rasa bangga dalam diri.
Comments
Post a Comment